ANALOGI : Menanak Nasi dan Pencapaian Hidup

Pagi ini aku mendapat pelajaran berharga. Aku memikirkan sebuah analogi sederhana yang cukup menamparku.

Aku menanak nasi dengan rice cooker. Awalnya semua berjalan dengan baik. Aku yang “sedang belajar” menanak nasi ini yakin dengan takaran airku kali ini. Tak akan encer ataupun keras pikirku. Aku pun telah mencuci teflon dengan bersih setelah terdapat noda gosong karena aku lalai ketika menanak nasi beberapa hari sebelumnya hehe. Aku ingin menyajikan atau bahasa kasarnya pamer kepada kedua adikku. Tujuanku hanya ingin menyediakan nasi untuk mereka sarapan.  Berjalan 15 menit, adikku pun mandi. Jika adikku mandi otomatis pompa air akan menyala. Tragisnya daya listrik rumahku tidak sebesar dengan daya listrik yang dikeluarkan peralatan-peralatan di rumah. Mati listrik tiba-tiba adalah hal yang wajar bagi rumah kami. Pompa air, freezer, kulkas, dan rice cooker dinyalakan bersamaan. Habis sudah! Aku pun panik, takut tak bisa memberi sarapan kedua adikku. Ayahku tiba-tiba datang dari kepergiannya membeli sarapan. Beliau selalu menyerah masalah listrik. Aku pun buta akan masalah listrik. Beliau pun berpesan untuk adikku segera mandi dan tak usah sarapan untuk pagi ini. Tak mau pesan itu terjadi, aku berusaha mencari akal. Semua lampu aku matikan, kunyalakan saklar, belum juga menyala. Aku berpikir untuk mencari jalan keluar saja yaitu membeli nasi di warung makan serong kiri rumah agar adikku tetap bisa sarapan. Tapi aku pun juga masih mencari cara agar listrik di rumah kami menyala. Masak iya seharian tanpa cahaya? Aku pun ingat aku belum mencabut kabel kulkas yang notabanenya memiliki daya listrik cukup besar. Aku pun mencabutnya dan menyalakan saklar dan voila hidup kembali! Tapi aku tetap membeli nasi di warung tersebut karena estimasi waktu yang tak mungkin jika menunggu nasi rice cookerku matang karena adik-adikku harus berangkat 20 menit lagi.

Lantas bagaimana analogi yang aku pikirkan? Kehidupan ini memang selalu begitu. Life is a choice! Tujuan awalku mempersembahkan nasi terbaik dari hasil belajarku kepada kedua adikku. Aku berpikir bahwa aku telah melakukan usaha yang terbaik yaitu dengan cara menakar dengan jeli air yang aku gunakan untuk mencapai tujuanku dan dengan bangganya aku berpikir bahwa hal ini akan berhasil. Tapi aku lupa bahwa rencana-rencana baik manusia tetap saja ada dalang di belakangnya, Allah SWT sebaik-baik penyusun rencana. Allah SWT berkendak lain kepada tujuanku. Ia ingin melihatkan “warna” lain kepadaku yaitu dengan berjalan ke luar rumah dan membeli nasi di warung terdekat, itung-itung kasih rezeki kan-begitu mungkin Allah mau.
Di tengah-tengah pikiranku untuk memilih nasi warung itu pun aku masih diliputi ragu-ragu karena masih saja terjebak pada pemikiran bahwa nasi buatanku pasti jauh lebih enak, bersih, hangat, dan tentunya membanggakan diriku karena bisa menyiapkannya kepada kedua adikku. Tetapi jiika aku terus bersih keras memakai nasi buatanku, semua akan berantakan. Adikku akan terlambat masuk sekolah ya memang aku menikmati “kebanggaan” itu tetapi jika membuat keadaan kacau apakah itu tetap disebut membanggakan? Kita tidak harus selalu memilih yang “terbaik” menurut kita tetapi kita juga harus memilih yang “tepat” untuk kita jalani. Toh tetap saja, aku mencapai tujuanku yaitu memberi sarapan kedua adikku tetapi mungkin jalannya lain. Tak usah hiraukan pandangan orang-orang akan cara lainmu itu. Dan kabar baiknya, aku tetap bisa menikmati nikmatnya nasi buatanku hingga malam untuk satu keluargaku membuktikan bahwa kita bisa meraih tujuan mulia kita tetapi kita perlu lebih bersabar dan berusaha. Semua itu hanya masalah waktu yang “tepat”. Itulah analogi luar biasa yang aku pelajari pagi ini sembari mengendarai motor untuk mengantar adikku ke sekolahnya.

Sebenarnya analogi ini muncul karena faktor ingin menenangkan diri atas banyak do’a dan usaha yang belum tembus dan harapannya agar bisa menjadi pribadi yang lebih bersyukur atas banyak hal yang telah terjadi selama lebih dari setengah tahun yang sedang berjalan. Ada banyak orang berkoban untuk suatu universitas terbaik dan ternama di Indonesia atau belahan dunia manapun. Tidak salah aku pun juga melakukannya, siapa yang tak ingin mendapat “privilege” tersebut? Usaha untuk mendapatkan yang terbaik itu harus tetapi yang lebih penting adalah menghargai proses yang kita lakukan. Tak apa tidak mendapat suatu pencapaian besar tetapi kita mendapat pengalaman lain-disini berarti universitas lain-yang menurut Allah lebih baik bagi kita. Karena belum tentu yang kita anggap baik, baik juga di hadapan Allah. Percayalah ada hal indah dalam penantian panjangmu. Tak apa gagal hari ini besok-besok ketika Allah anggap bahwa kita sudah bersabar, ikhlas, dan bersyukur atas apa-apa yang menimpa kita rezeki yang tak disangka-sangka pun tiba. Karena Allah berfirman “If you are grateful, I(Allah) will give you more.” (Ibrahim:7)  


Happy reading! Selamat beraktifitas kembali, guys

Comments