Homeschooling Family : Refleksi, Solusi, Mimpi, atau Visi?

Latar Belakang

Akhir-akhir ini, literasi yang dipaparkan secara kebetulan kepadaku adalah topik homeschooling family. Sebut saja daily vlogger dari YouTube Channel keluarga Martin Johnson, Ibu Septi di Salatiga, dan keluarga kesebelasan Gen Halilintar yang sejak 2016 lalu mulai terekspos di hampir seluruh saluran TV Indonesia dan beberapa belahan dunia. Terakhir baru saja kemarin, temanku datang berkunjung juga mendiskusikan topik ini. Hal ini menjadikanku bertanya-tanya dan berpikir apa maksud di balik Allah memaparkan fakta-fakta baik ini di hapadapanku? Aku meyakini tidak ada yang kebetulan di dunia ini, kita ditemukan dengan sesuatu karena ada maksud baik dari sang Maha Kuasa yang ingin ditunjukkan kepada hambaNya.

Jujur aku sangat mengagumi tiga keluarga yang telah aku sebutkan di atas. Ya, aku mengagumi tindakan nyata tapi sederhana yang mereka paparkan. Seakan bagiku, jalan yang mereka tempuh adalah solusi terbaik bagi pendidikan kering moral di Indonesia.

Postingan ini bertujuan menanya diri sendiri apakah topik homeschooling family hanya lewat sekadar menjadi refleksi, atau mungkin bisa dijadikan solusi bagi keluhan pendidikan Indonesia yang sering aku dan teman-teman lain gaungkan, mimpi dan fantasi, atau malah visi ke depan untuk diriku sendiri?

Profil singkat 

1. Keluarga Martin Johnson adalah keluarga Amerika yang tinggal di Indonesia selama 11 tahun di beberapa kota seperti Papua, Bandung, Jakarta, dan Jogjakarta. Pak Martin adalah seorang rohaniawan. Istrinya, Julie Johnson, adalah seorang rumah tangga yang mau dan senang mendidik anaknya, Sarah (14) dan Seth (12), di rumah dengan kurikulum dan buku-buku dari Amerika. Mereka dikenal melalui family daily vlogger di YouTube.

2. Keluarga Ibu Septi Peni Wulandani tinggal di Salatiga. Ibu Septi yang banyak dikenal sebagai penemu "Jarimatika" memutuskan menikah pada usia 20 tahun. Dari pernikahannya juga, Ia memutuskan untuk tidak menerima surat keputusan bahwa ia diterima sebagai PNS guru. Ia merelakan diri sebagai ibu rumah tangga. Ketika memiliki anak, ia menggunakan prinsip demokratis bagi ketiga anak-anaknya. Maka ditanyalah anak-anaknya, "mau sekolah formal atau tidak sekolah?" Mereka menjawab tidak sekolah. Berarti Ibu Septi bersiap untuk menjadi seorang pendidik di rumah. Ya, homeschooling mom. Cara yang dipakainya adalah home project-based learning.

3. Keluarga Kesebelasan Gen Halilintar adalah keluarga yang tinggal di Jakarta. Keluarga yang besar terdiri orang tua dan kesebelas anak adalah alasan mengapa rumah yang didiami mereka begitu mewah. Selain banyak anak, uniknya keluarga ini ada pada pembagian tugas setiap anak bahkan kepada anak kesebelas yang paling kecil berumur sekitar 2 atau 3 tahun. Selain itu, kegiatan travelling ke seluruh dunia dalam rangka tadabur alam yang mereka lakukan adalah media homeschooling atau belajar keluarga tersebut. 

source : tirto.id.

Apa yang membedakan kegiatan homeschooling dengan pendidikan formal?


Mari sedikit menganalisa behaviouristik keluarga yang kusebut di atas.

Pertama-tama, "project" adalah hal yang lumrah bagi keluarga homeschooling. Dari sini aku berpikir, menyenangkan sekali bagi mereka membentuk kebebasan yang bertanggung jawab tanpa inversi tuntutan-tuntan sosial yang kadang menjijikan seperti rangking, nilai 100, sekolah favorit, dan selembar kertas ijazah. Martin Jonhson dengan project membentuk life style hidup sehat dengan berlari dan konsumsi makanan rendah gula dan lemak, Ibu Septi project 1 anak 1 keahlian, dan Gen Halilintar dengan projectnya 1 anak 1 tugas rumah tangga. Amazing!

Kedua, observasi dan fasilitas penyaluran bakat dari orang tua juga hal lain yang lumrah terjadi di keluarga homeschooling. Seorang homeschooling parents sedikit memberi porsi pelajaran ilmu pengetahuan kepada anak-anaknya akan tetapi orang tua seakan menunjukkan "inilah hidup sebenarnya". Iya, menunjukkan skills apa yang harus dimiliki oleh seorang manusia seperti memasak, membersihkan rumah, menjaga lingkungan, berbisnis, dll. Sepeti Keluarga Johnson dengan ajaran menjaga lingkungan dari Martin ketika mereka berpergian ke manapun juga Keluarga Septi dan Gen Halilintar yang menanamkan skill berbisnis kepada anak-anaknya untuk survive. Benar-benar pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia.

Ketiga, aku menanyakan bagaimana interaksi sosial dan perluasan jaringan dan komunitas seorang anak homeschooling. Dari sedikit pengamatanku, anak-anak itu berinteraksi dengan siapa saja dan umur berapa saja. Lebih muda, sebaya, dan lebih tua. Tidak ada anggapan teman sebaya itu lebih mengasikkan atau lebih nyambung diajak ngobrol. Mereka menemukan relasi dari teman-teman extended familynya, tetangganya (yang mana sekarang sudah jarang orang melestarikan hubungan baik dengan tetangga karena mungkin alasan sibuk bekerja), komunitas tempat ibadah mereka (di Islam ini sangat memungkinkan karena masjid adalah titik nol pengembangan ukhuwah islamiyyah), dan komunitas anak-anak homeschooling lainnya. Keluarga Martin Johnson dan Gen Halilintar adalah seorang traveller maka relasinya adalah orang seluruh dunia yang mereka temui di jalan. Menariknya lagi, keluarga Ibu Septi yang memberi ruang anak-anaknya belajar dengan orang-orang sukses macam CEO perusahaan, penulis buku, dan segudang achiever lainnya. Mereka berkesempatan "mengobrol" langsung dengan mereka untuk belajar dan menelusuri apa yang orang sukses lakukan. Aku cukup terkejut ternyata anak-anak dan seorang ibu homeschooling itu juga berhubungan dengan banyak manusia layaknya orang yang bersekolah di pendidikan formal.

Terakhir, pendidikan agama atau penanaman moral anak-anak homeschooling yang sangat mendorongku untuk menjadi bagian dari mereka. Mereka tidak sekadar "berilmu" agama tetapi mereka juga menjadi praktisi langsung mengenai aqidah-aqidah agama yang dianut. Mereka akan terjun ke masyarakat dengan segala gudang masalah yang tak bisa lepas dari agama lantas mereka akan belajar. Layaknya Keluarga Johnson dengan bible school dan keluarga Gen Halilintar dengan modal hafalan surat Al-Kahfi 1-10 untuk seluruh anggota keluarga. Aren't they amazing? Seorang ibulah yang sangat berperan dalam pengajaran ilmu agama ini. Jika ibu sudah dianggap sebagai sumber ilmu utama maka tak ada sangkalan dari seorang anak bahwa di sekolah guruku mengajarkan ini itu. Anak homeschooling pastinya lebih menanamkan kepercayaan kebenaran absolut pada diri seorang ibu. Pun, orang tua bertindak sebagai ethical leader dimana perannya adalah pemberian contoh dan/atau role model kepada anak-anaknya sehingga sang anak dengan mudah mengimitasi atau meniru. 

Lalu, ada apa denganku?

Mendekati usia 20 dimana aku akan menjadi dewasa dan pilihan sepenuhnya ada di tanganku, aku menjadi bertanya-tanya. Apakah aku akan memilih jalan wanita karier atau full time ibu rumah tannga ke depannya? Apakah aku sedang bermimpi menjadi seorang ibu dengan pemilihan sistem  pendidikan homeschooling kepada anak-anakku kelak? Apakah ini benar-benar panggilan jiwa dan suatu hal yang ingin aku lakukan ke depan? Apakah ini hanya sebagai tambahan ilmu parenting bagiku? Apakah ini langkah ke depan untuk aku observasi dalam bidang model parenting? Apakah ini solusi terbaik atas banyaknya keluhan kesemrawutan sistem pendidikan Indonesia? Atau apakah ini gagasan yang baik untuk membentuk lembaga homeschooling sendiri? Aku tidak tahu. Mungkin sudah saatnya yang muda mengerti ilmu parenting agar mampu menentukan mana yang cocok untuk tipe keluarga yang akan dibangunnya kelak. Terlalu jauh aku berbicara mengenai parenting? Tidakkkah itu sama halnya dengan arsitek muda yang bermimpi membangun pemerataan transportasi umum di Indonesia? Semuanya perlu diusahakan ilmunya sedari muda. 

"Terpujilah bagi mereka yang mau mencari value untuk menghidupkan kehidupannya sendiri. Terancamlah bagi mereka yang berdiam diri tak tahu makna mengapa mereka ada di sini." FNY

Comments

Post a Comment