Millenial Jaksel dengan Budaya “Code Mixing” yang Kental

Fenomena bahasa campur yang banyak dibicarakan belakangan, saya sadari keberadaannya saat Andika Wira atau yang bernama beken “skinnyfabs” mengunggah snapgram sedang mem-parodi-kan kata “which is” dan “literally”. Awalnya, Andika Wira hanya ingin menyindir fenomena yang banyak ditemui di lingkungannya. Entah bermula sejak kapan, hal ini menjadi stereotype anak muda gaul Jakarta Selatan. Mungkin bermula dari tagar AnakJaksel di twitter yang berhasil menjadi trending topic.



Sebenarnya, masalah bahasa campur adalah lagu lama yang terus saja dinyanyikan. Pada zaman kolonialisasi, mencampur Bahasa Indonesia dengan Bahasa Belanda adalah hal yang lumrah. Alasannya sama, mereka belajar bahasa asing untuk menguasai ilmu. Mempelajari Bahasa Belanda agar tidak turut dibodohi Belanda, agar bisa bekerja, agar bisa baca dan tulis, agar bisa berkomunikasi dengan pihak asing, dan agar terlihat terpandang. Itulah faktanya, bukan? Belajar bahasa asing diakui dapat menjunjung tinggi martabat manusia.

Pertanyaannya, apakah salah? Apakah ini menjadi ancaman bagi bahasa Indonesia dan bahasa daerah kita?

Budaya gado-gado ini adalah fenomena “code mixing dan/atau code switching” dalam istilah ilmu sosial linguistik. Lahir karena keberadaan bahasa sebagai alat komunikasi yang bersinggungan terus-menerus di lingkungan sosial.

Latar belakang keragaman di Indonesia mau tidak mau menjadikan orang Indonesia sebagai seorang bilingual atau bahkan multilingual. Orang Indonesia pasti akan terlibat kontak dengan bahasa daerah, bahasa persatuan –Bahasa Indonesia, dan bahasa asing utamanya Bahasa Inggris sebagai bahasa global. Apalagi di era globalisasi , Bahasa Inggris sudah menjadi bahasa andalan dan wahid. Mau tidak mau semua informasi berasal dari bahasa tersebut. Era global harusnya menjadikan orang-orang sudah tidak berada di tempurungnya sendiri, mereka harusnya mampu memahami dunia dengan lebih baik.

Latar belakang bahasa yang beragam ini mengharuskan orang untuk melakukan code mixing dan code switching untuk menjalin komunikasi yang lebih luwes dalam konteks percakapan informal. Beda antar keduanya ada di tataran tujuan. 

Code mixing dilakukan karena terkadang orang tidak mengetahui suata kata atau frasa dalam bahasa keduanya maka ia akan menyebut dalam bahasa ibunya atau bisa juga sebaliknya. Seperti sebut saja tempe. Tempe tidak memiliki padanan khusus dalam Bahasa Inggris, maka kita akan mecampur kata tempe dalam kalimat “I ate tempe this morning.” Hal sebaliknya, kadang sebagai penutur bahasa ibu kita tak mengetahui atau sering lupa padanan kata yang tepat pada bahasa ibu sehingga kita menyebutkan dalam istilah asing. Hal ini banyak dijumpai oleh perantau yang tinggal di daerah asing yang mengharuskan ia berkomunikasi dalam bahasa asal rantauan sehingga intensitasnya bercengkrama dengan bahasa ibu sudah jarang. 

Sedangkan, code switching adalah juga pencampuran bahasa akan tetapi ia lebih natural dan dilakukan untuk memberi efek psikologi yang spesial kepada pendengar. Orang melakukan code switching karena di otaknya sudah terprogram dua atau bahkan lebih sistem bahasa. Orang yang melakukan code switching juga mengalami pergantian sifat berbeda secara cepat terhadap antar dua bahasa bahkan lebih yang diucapkan. Fenomena bahasa campur ini jelas lahir untuk menghindari gap/celah yang diciptakan lingkungan secara natural.

Lain itu, hidup mah jangan serius mulu, ya. Bahasa itu luwes dan praktis, masak iya kita ngobrol di pasar pakai anda-saya atau pesen makan di resto pake bahasa “bolehkah saya memesan es teh satu gelas?” Paling mentok kita juga cuma bilang ke pelayanan resto “es teh satu” setelah ditanya “pesan apa?” oleh pelayan. Analogi kasarnya emang ada merek teh “satu”? Paham kan sampe sini? Kalau campur aduk masih pada tataran bahasa gaul buat millenial mah ga masalah. Beda kalau sudah meranah ke urusan akademik, ini perlu ditanyakan. Tapi sebagai mahasiswi jurusan Bahasa Inggris, di lingkungan akademik masih sering banget code mixing and code switching dan bapak ibu dosen ga mempermasalahkannya. Intinya mah, liat konteks aja ya netizen budiman.

Disimpulkan nih dari video berjudul “The benefits of a bilingual brain - Mia Nacamulli” yang diunggah oleh Ted-Ed di YouTube banyak manfaat jadi orang mampu banyak bahasa antara lain otak seorang bilingual atau multilingual lebih aktif dan kompleks, fokus mereka juga lebih baik dibanding monolingual, dan mereka dipercaya mampu mengalami kepikunan lebih lama 5 tahun. Menarik bukan? Bahasa campur itu bukan hal yang harus dikhawatirkan. Kita ambil sisi baiknya saja. Itung-itung millenial jadi lebih pede belajar bahasa Inggris dan lebih luwes nerima keragaman budaya se-dunia. (FNY)

Comments