Lolos Uji Menteri

Belakangan ini, lini masa media sosial diramaikan oleh postingan mengenai Ibu Menteri Keuangan RI yang juga menjadi dosen FEB UI sedang menguji skripsi para mahasiswanya. Yang menarik ditelisik adalah komen-komen unik dari netizen. Banyak dari mereka penasaran "gimana rasanya diuji oleh seorang menteri?", diuji oleh dosen yang tidak "populer" pun deg-degannya setengah mati. Ada pula meme meme lucu yang mengungkapkan bahwa ini adalah sebuah prestasi yang patut ditulis di CV pribadi dengan bunyi "telah lolos uji berstandar menteri keuangan RI."

Aku pribadi melihat fenomena ini dengan dua sisi. Pertama, dari sisi kepercayaan. Aku semakin yakin bahwa manusia memang tempatnya lupa. Terutama aku, manusia hina. Setiap hari kita diminta menemui Tuhan, untukku muslim adalah lima kali sehari. Tapi, manusia sering lupa. Tuhan saja ditemui dengan keadaan lemah, lesu, lelah selepas berkegiatan, dan sederet list "kemalasan" lainnya. Menemui sang menteri dipersiapkan setengah mati. Menemui Tuhan, disiapkan seadanya bahkan dalam keadaan "sisa", bukan prioritas. Diuji menteri, banyak yang bilang sebuah prestasi lolos uji. Manusia lupa bahwa nanti di hari persaksian, kita juga akan dimintai pertanggung jawaban olehNya dengan seberondong pertanyaan bertubi-tubi. Buktinya lebih dahsyat lagi, bukan lidah yang tak bertulang ini yang bersaksi tapi tangan dan mulut ini yang akan menghakimi. Bukan mengumpulkan skripsi garapan beberapa kali revisi, tetapi mengumpulkan catatan amal yang penuh cacat sana sini. Manusia lupa. Aku lupa. 

Kedua, manusia terlalu sibuk mencari gengsi daripada esensi. Manusia terlalu berpaku pada hal yang menakjubkan bagi dunia tapi tak bermakna bagi dirinya sendiri. Ia hanya sibuk mengejar reputasi tanpa memikirkan apa sejatinya yang ia cari. Semua orang pasti ingin menjadi Mbak Khaira Abdillah dan Mas Putra Prima Raka yang ramai dibicarakan di media sosial karena nasibnya yang diuji seorang menteri keuangan terbaik di dunia, Sri Mulyani. Ketika melihat mereka berdua ingin rasanya mendapatkan "penghargaan" yang sama, bisa merasakan euphoria yang sama. Padahal sejatinya, semua juga akan mengalaminya. Semua orang yang berkuliah juga akan "didadar" pada waktunya. Dengan dosen siapa itu bukan masalah, karena dengan siapapun kita diuji nanti kita harus mempersiapkan hal yang sama, berusaha keras dengan porsi yang sama. Netizen, aku pun juga, sering lupa bahwa sebenarnya bukan popularitas yang kita kejar di dunia ini karena berita viral juga akan turun dari  deretan trending topic secepat hitungan jam. Akan tetapi lebih dari itu. Manusia seharusnya mengejar kebermanfaatan bagi dirinya sendiri, orang lain, lingkungan sekitar, dan bangsa.  

Atau ketika melihat kemewahan seseorang di sebuah daily vlog yang sedang marak di YouTube, ada rasa iri yang membucah. Tapi coba dipikir? Rasa-rasanya tidak perlu "semewah" yang ada di layar kaca untuk merasakan bahagia. Kita lupa, yang kita cari bukan mewahnya tapi bahagianya. 

Singkatnya, dalam menanggapi kabar pencapaian, kelebihan, dan kemewahan seseorang, turutlah berbahagia. Lalu, bukan bertekat meniru persis pencapaian seseorang akan tetapi menyerap semangat yang sama untuk keadaan dirimu yang sekarang dimanapun bidang yang kalian jalani. 

Ya, manusia tempat lupa sekali lagi. 

Comments