Among Express, Impress, or Inspire?


Awal pekan ini, tak sengaja aku melihat iklan TV di sela-sela menonton film ulangan “Spider Man Home Coming.” Iklan yang cukup menarik otakku untuk berpikir, lagi, dan lagi.

“Um... ga usah di-posting deh.” berkata seorang perempuan yang sedang duduk di samping kemudi sopir setelah dirinya mengambil gambar dari ponsel pintarnya. Iklan pun ditutup dengan tulisan “Lindungi Hak Privasimu. Bijaklah dalam Bersosial Media.”

Jujur, akhir-akhir ini aku juga merasa tidak nyaman untuk membagi pencapaian, foto liburan, foto makanan, dsb di akun sosial media yang aku miliki. Pokoknya segala hal yang kurasa membahagiakan untuk diriku sendiri dan ada kemungkinan menimbulkan gemuruh dengki di hati orang. Ada perasaan guilty pleasure yang menyelimuti semacam takut-takut dicatat amal riya’ (pamer) oleh malaikat atau cemas jika kebahagiaan yang aku bagikan menimbulkan rasa iri dan dengki yang akan mengundang musuh bukannya teman. Atau, aku juga takut jika ada penguntit rahasia yang mencuri informasi pribadiku, mungkin saja kan? Atau aku hanya terlalu berlebihan pada diri sendiri?

Aku bisa menghabiskan waktu barang kali 15 menit – atau lebih- hanya untuk berpikir......
“pantas gak ya hal ini aku post?”
“niatku udah bener cuma berbagi apa pamer ya?”
“kayanya ga penting-penting amat deh nge-share foto liburan bareng keluarga, takut amat dibilang kurang piknik?”
dan sederetan consideration lainnya sampai pada akhirnya klik “post” atau “share to your story” bahkan malah akhirnya batal diunggah dan cukup jadi konsumsi pribadi.

Yang aku pelajari adalah
yang tidak mengunggah foto liburan atau pencapaian itu bukan berarti kurang bahagia dan belum tentu yang posting foto makanan atau jalan-jalan mereka berbahagia dengan pilihannya. semua adalah penipu di dunia serba citra. 
Kepada mereka yang memutuskan untuk tidak banyak mengunggah kebahagiaan mungkin mereka berprinsip it is all just a matter of privacy. Menghargai privasi diri sendiri aja sedelima ini. Dasar aku. Pun bagi mereka yang suka mengunggah pencapaian mungkin prinsip mereka adalah being an inspirator for everyone is no harm at all. Gak ada yang salah. Semua ada hikmah.

Semakin ke sini aku menyadari, aku lebih nyaman seperti ini. Maksud aku, aku lebih suka menggunakan sosial media sebagai tempat untuk berbagi hiruk pikuk pikiran yang berseliweran di kepala ketimbang foto-foto aesthetic macam influencer pada umumnya. Pertama, aku rasa aku tidak memiliki bakat di sana. Kedua, aku lebih suka menyatakan rasa lewat tulisan panjang ketimbang sepotong gambar. Aku adalah seorang graphic communicator yang buruk. Tulisan lebih memberi medium yang bebas untukku. Juga, aku suka dengan ide “menulis untuk keabadian” adalah bagaimana sebuah tulisan itu akan abadi baik pesan, kenangan, maupun bentuk fisiknya. Aktifitas recall memory lewat tulisan membuatku semakin mudah menertawakan hidup.

Jadi, entah aku gunakan untuk apa sosial media. Bagai bunglon, peranku terkadang bisa terbagi menjadi seseorang yang ekspresif, impresif, atau malah berpura-pura inspiratif. Lagi-lagi, semua adalah penipu handal di dunia serba citra. 

Comments

  1. Setuju banget semua poinnya... Bahkan sharing hal2 menyedihkan belum tentu membuat orang lain berempati, apalagi sharing hal2 menyenangkan, terkadang orang lain tidak peduli juga...

    ReplyDelete
  2. Terima kasih sudah berkunjung ke sini dan meninggalkan komentar. Yup, betul. Semua ingin terlihat hebat tapi tidak semua ingin memahami bagaimana seseorang menjadi hebat.

    ReplyDelete

Post a Comment