Being A Good Muslim Ambassador

....Apaan sih ibu-ibu muslim pada lebay banget kalau anaknya terjerumus ke dalam hal mabuk-mabukkan, narkoba, free sex, pacaran, ngerokok.....
....Emang hal itu ada ya di Indonesia??? Emang banyak yang ngelakuin itu??? Emang Indonesia se-liberal itu bukannya pada suka ngaji dan hijrah??? 

Satu minggu belakangan ini dan beberapa minggu ke depan, aku mendapat kesempatan untuk menjadi local volunteer suatu proyek pendidikan di kotaku sendiri. Di acara ini, aku menjalankan program bersama exchange participants dari luar negara. Tidak tangung-tangung, 4/5 di antara mereka berasal dari luar Asia. 3/5 adalah orang Eropa tulen dan berasal dari ras kulit putih. Sedangkan, satu diantaranya adalah orang yang berasal dari Bumi Syam yang penampilannya tidak sama sekali menjawab ekspektasi liarku. Komposisi exchange participants yang cukup mengagetkanku. Awalnya aku pikir aku akan bersosialisasi dengan orang-orang sekitaran Asia yang budayanya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Aku cukup shocked tapi mencoba sok netral dan terlihat biasa melihat perbedaan budaya yang cukup mencolok antara Asia dan Eropa. 

Hal-hal yang aku sebut di atas, lebaynya orang tua Indonesia terlebih muslim bukanlah tanpa dasar, nyatanya di belahan bumi lain hal-hal yang ditakutkan itu terjadi dan merupakan hal yang lumrah. Bahkan, aku melihat ada orang Indonesia juga turut merokok dan mabuk-mabukan. Terlebih-lebih,  adanya arus globalisasi yang akan sangat mudah terakses di tengah era digitalisasi kini tambah mengkhawatirkan orangtua. Ketakutan orang tua bahkan rasa insecure dalam diriku sendiri aku anggap sangat wajar. Tapi, bukan sebuah emosi jika aku tak segera mengkontrolnya. Ketakutan orang-orang yang akan menginjakkan kaki ke tanah rantau di luar benua juga sungguh sangat realistis. Bagaimana jika tidak menemukan makanan halal? Bagaimana jika mereka mengajakku minum alkohol? Bagaimana jika mereka menganggapku teroris? Aku yakin aku akan menemuinya maka aku harus belajar bagaimana aku mampu mempertahankan jati diri muslimku di tengah-tengah lingkungan berbeda budaya seperti itu. 

Akhir semester lalu, aku membaca buku “Multicultural Manners: Essentials Rules of Etiquette for the 21st Century” karya Norine Dresser di kelas Cross-Cultural Understanding yang sedikit membuka mata mengenai kemampuan berkomunikasi di lingkungan serba multikultural. Buku itu menjadi peganganku bahwa “kita boleh saja mempelajari budaya lain tapi bukan untuk merubah jati diri tapi justru semakin menguatkan jati diri dan mengetahui darimana sebenarnya kita berasal.” Berikut beberapa prinsip yang aku tanamkan agar aku mampu tetap mengikuti perkembangan zaman yaitu kemampuan berkomunikasi intercultural tetapi tetap percaya diri menampakkan jati diri sebagai muslim. 

Beberapa hal yang selalu kurenungkan ketika berhubungan beda pemikiran apapun itu bentuknya adalah, 1) “membaur tapi tidak melebur.” Jika mereka bisa mengadvokasi mengenai budaya minum alkohol, kenapa aku yang muslim tidak mengambil peran? Aku punya peran besar untuk mengkampanyekan apa itu hijab, Al-qur’an, dll dengan kemampuan Bahasa Inggrisku. Aku punya peran untuk menghapus stigma bahwa Islam adalah teroris. Belumkah cukup Allah memberi sinyal bahwa kamulah yang harusnya bergerak mulai dari sekarang? Mengambil resiko itu. Bergaul dengan mereka, mendekati mereka, mempelajari millah  (budaya) mereka tapi tidak untuk mengikutinya. Aku rasa setiap orang punya cara yang beda mengekspresikan cinta tanpa terkecuali pada Tuhannya. Aku memilih jalan ini untuk semakin merasa membutuhkan Allah karena aku terus merasa takut terjerumus ke dalam kesesatan duniawi. Ya, spirituality is very personal choice in my very honest opinion. 

Seorang ekspat yang pernah tinggal di Taiwan juga pernah berkata begini 2) “exchange your value but don’t change your identity.” Kita boleh saja merayakan keberagaman karena begitulah dunia dan seisinya tapi jangan sampai menyerupai kacang yang lupa kulitnya. Maka, seorang muslim haruslah dalam buaian pendidikan berdasarkan agama sejak dalam kandungan ibunya. Aku rasa jika identitas muslim sudah kokoh dalam diri seseorang, ia akan merasa bangga dan tidak merasa crisis identity bagai remaja malang lainnya. Maka, ketakutan seorang orangtua mukmin di atas bukanlah tanpa dasar. Itu adalah bentuk keimanan yang tulus kepada Allah, aku rasa. 

Hal lain yang aku rasa perlu dalam hidup adalah kita akan terus menjadi pembelajar. Bagiku, tidaklah bijak jika kita membatasi sumber belajar. Lagi pula, apa yang bisa dicegah di masa serba informasi layaknya hari ini? Seorang alim pernah berkata kepadaku, 3) “bukan membatasi input yang datang, tetapi yang harus diusahakan adalah menyaring/filter informasi yang dilihat dan didengar.” Maka, aku biarkan diriku melihat dunia dengan segala baik buruknya dan campur aduk prespektif sekalipun itu adalah hal yang taboo bagi kebanyakan orang. Aku ingin memperkaya khasanah dan mampu mengambil hikmah dari setiap apa yang aku baca. Agama bagiku menjadi ilmu penyaring terhebat. Agamalah yang akan menentukan mana informasi yang harus aku telan dan mana informasi yang harus aku buang. 

Begitulah aku menempatkan diri -  berusaha memahami agama sendiri - di tengah hingar-bingar akhir zaman. Prinsip hidupku adalah “In the world full of Kardashians, be like Khadijah RA.” Ibaratnya, muslim memang seharusnya memiliki ketajaman intelegensia seperti orang-orang Jerman tetapi memiliki budi dan amal seperti orang-orang Mekkah. Muslim sejati adalah yang tawazun atau seimbang antara urusan dunia dan akhirat. 

Ampuni aku Allah karena aku bertahun-tahun belajar agama tapi tidak mendapat berkahnya sehingga Engkau tak mudahkan aku dalam ketaatan. Ampuni aku yang tidak bangga dengan identitas muslimku, ampun benar-benar ampun. Bantu aku berjalan dalam ketaatan di jalan surgaMu.

Comments