Gak Perlu Galau Kalau Harus Gap Year

Bisa dibilang aku adalah angkatan gap year. Setelah menjalaninya, aku baru menyadari bahwa menunda 1-2 tahun untuk tidak berkuliah adalah suatu hal yang cukup tabu di Indonesia. Social pressure seakan mendorong bahwa lulus SMA ya kalau bisa langsung berkuliah. Bahkan kalau bisa kita dituntut semuda mungkin untuk mapan. Tidak salah hanya kurang tepat jika menjadi tuntutan umum yang menyamaratakan keadaan semua orang. Dalam perjalanannya aku juga menyadari bahwa perguruan tinggi tidak diperuntukkan untuk semua orang. 

Pada 14/08, pelajar SMA Indonesia menerima hasil Seleksi Bermasa Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Di jagad sosial media, sudah menjadi ritual setiap tahunnya akan ada curhatan kegalauan karena menerima kartu merah tanda tidak lolos dan/atau ungkapan kebahagiaan karena tanda hijau tanda diterimanya ia di jurusan tertentu di suatu perguruan tinggi. Padahal keduanya sama-sama harus disyukuri. Sebagai mahasiswa gap year yang alhamdulillah bisa dan akan terus bahagia sampai sekarang, izinkan aku membagi pandangan bahwa gap year adalah masa emas yang patut dibanggakan. 

Sejujurnya, aku pribadi tidak bisa dibilang 100% gap year. Aku engga menunda perkuliahan setelah lulus dari SMA. Aku tetap berkuliah di suatu institusi mengambil jurusan pendidikan bahasa Inggris dengan anggapan ingin mengembangkan bahasa Inggris sembari belajar tes SBMPTN untuk setahun ke depan agar bisa pindah di jurusan yang aku rasa waktu itu aku idam-idamkan sebagai karir ke depan yaitu Ilmu Komunikasi. 

Aku mengikuti radio komunitas secara aktif untuk menjajal rasa penasaran mengenai komunikasi, jurnalisme, dan penyiaran radio di institut tersebut sebelum aku berkuliah di tempat sekarang (sebenarnya di universitas sekarang aku juga mengambil jurusan yang sama, nanti aku ceritakan perubahan pandanganku tentang pendidikan tinggi dan urusan karir). Hampir 75% waktuku banyak terkuras di sana. Aku fokus menyibukkan diri untuk membekali diri dengan skill-skill baru. Maka, aku menyimpulkan aku menunda perkuliahan satu tahun karena dulu di institut itu aku selalu disibukkan dengan belajar soft skill public speaking, penyusunan program, penyelenggaraan event besar skala konser lokal, dan komunikasi sehat. 

Urusan sekadar mengembangkan bahasa Inggris juga dijawab oleh Allah SWT yang Maha Agung. Di institut tersebut, aku ditemukan dengan dosen agama Islam dari Unit Pengembangan Bahasa yang berhasil meraih beasiswa S2 ke Monash University di jurusan Leadership Education. Beliau senantiasa memotivasi kami sekaligus membimbing kami untuk sedari sekarang belajar mencetak skor TOEFL lebih dari 550. Beliau benar-benar membangkitkan kembali keinginanku yang sempat menyala-nyala ketika kecil untuk S2 di luar negeri apalagi Australia. Mr. Yayan if you're reading this, I owe you a lot. 

Mr. Yayan adalah guru satu-satunya dari institut tersebut yang aku kabari tentang keputusanku untuk berpindah universitas dan lalu bertanya kepadaku apakah aku sudah bulat dengan tekad pindah. Akhirnya, beliau hanya mendo'akan untuk kesuksesan kami semua dengan sebuah acara pelepasan dikemas dalam suasana buka bersama di sebuah restoran ternama di kota solo. 

Missing all of you guys :") the energy of learning TOEFL is still on. Bahkan, aku sekarang mengajarkannya ke teman-teman dan beberapa kolega. Alhamdulillah.

Kilas balik jauh ke belakang sampai kenapa akhirnya menyerah untuk nyemplung di institut tersebut. Aku lulusan sekolah favorit di kota Solo. Aku terbiasa dengan mental menang. Aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku pun terus berpikiran untuk urusan kampus pasti aku juga akan mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku kan orang pintar. Aku kan dari sekolah favorit. Aku pasti diterima lewat jalur SNMPTN. Mindset itu terus hadir tanpa mau mempersiapkan plan B atau worst case possibility-nya. Aku sombong betulan. 

Allah pun datangkan ujianNya. Allah membalik keadaanku 180 derajat. Allah kasih nilai UN yang sangat jauh dari ekspektasiku sampai Bapakku pun heran kenapa aku bisa begitu? Kedua, aku tidak diterima SNMPTN (jalur undangan). Simak di sini untuk tahu cerita saat dinyatakan "gagal" masuk perguruan tinggi. 

Hari-hariku menjadi semakin abu-abu. Aku jadi bingung mau berkuliah di jurusan apa. Aku menangis sesenggukan selama berminggu-minggu. Aku mogok makan. Aku perang dingin selama kurang lebih sebulan dengan Bapak karena sedari awal tidak mau mematuhi nasihatnya untuk memilih suatu jurusan yang dianggapnya aku bakal lolos dengan jalur SNMPTN. Aku terpuruk dan tidak juga move on untuk mempersiapkan SBMPTN. Hanya bisa merenungi nasib. Aku pun menerapkan social distancing. Mengurung diri di kamar. Menghindari teman-teman SMA yang 70% sudah diterima melalui jalur SNMPTN.

Yang menguatkanku ketika itu tentu mama dan dua sahabatku (halo Mufidah dan Shela). Mama terus mendampingiku untuk mendaftar SBMPTN atau jalur masuk kampus lainnya sembari memberi affirmasi positif "gagal itu gapapa, gagal ini jadi pembelajaran yang berharga buat kamu. Ayo semangat. Mama juga ikut sedih kalau kamu terus-terusan sedih." Sedangkan Mufidah menyambangi ke rumah menghadiahi rok hitam. Katanya nanti buat bekal seragam kuliah di STAN. Aku memang mencoba mendaftarkan diri mengikuti seleksi masuk STAN. Sedangkan, Shela mengajakku menghilangkan penat dengan makan ke restoran Kimchi. Cukup terhibur dengan Jeju Drink-nya tapi tidak dengan Nasi Goreng Campur (Bimbibbap) dan Tteobokki. Terima kasih ya kalian semua :) 

Berapa kali aku ditolak? Ini adalah jatah kegagalanku kala itu: SNMPTN, SBMPTN 2016, UM UGM, STAN, seleksi mandiri UNS, dan seleksi mandiri UNY. Kenapa aku gagal? Saat itu, aku belum bisa menilai apa yang aku mau sebetulnya dan apa yang mampu aku kerjakan. Aku juga beridealisme sangat kuat untuk bisa kuliah di perguruan tinggi negeri. Tidak mau swasta pokoknya. Idealisme itu berasal dari rasa bangga  yang bisa selalu bersekolah di sekolah favorit. Masak iya harus kuliah di swasta? Padahal stigma ini harusnya dihilangkan. Sekolah dimana saja tetap bermanfaat tergantung bagaimana regulasi diri sendiri dalam mendisiplinkan diri. 

Akhirnya, aku memutuskan untuk mencoba PTKIN, semacam SBMPTN untuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri untuk masuk UIN dan/atau IAIN se-Indonesia. Mendaftar itu murni dengan alasan biaya kuliahnya yang murah karena cuman mau "kuliah main-main" doang. 

Sekarang, aku melihat rentetan ujian tersebut sebagai berkah bukan malah nasib yang tidak menguntungkan. Gap year telah mengajariku cara mengelola kegagalan. Kini, aku bisa jauh lebih menerima ketika harus berhadapan dengan ekspektasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Anggapanku sekarang adalah bahwa kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Ketika kita gagal sejatinya kita sedang menghabiskan jatah ketidakberhasilan kita. My gap year experiences menjadi sebuah batu loncatan untukku secara pribadi. Aku merasa bahwa dengan gap year aku menjadi pribadi yang lebih siap menghadapi dunia perkuliahan. Di perkuliahan, aku sedikit sekali diguncangkan dengan kebingungan quarter life crisis dibandingkan teman-teman yang lain karena aku tahu betul apa yang aku mau untuk kebaikan diriku sendiri. Aku jadi bisa mengevaluasi lebih baik lagi apa yang benar-benar menjadi "panggilan jiwaku". Aku bersyukur untuk satu tahun kala itu yang penuh dengan refleksi mental dan emosional. 

Aku juga belajar bahwa pendidikan tinggi atau kuliah bukanlah kontestasi gelar kependidikan. Pendidikan tinggi adalah tentang pencarian peran dan kontribusi yang ingin kamu berikan untuk lingkungan terdekatmu. Maka, cari hal yang benar-benar kamu suka atau ingin kamu kembangkan.  Maka, bodohlah aku dulu yang hanya sekadar mencari jurusan yang dianggap prestige di masyarakat padahal Allah jauh lebih tahu bahwa diri ini tidak mampu berperan secara optimal di bidang lain. 

Awalnya, secara acak aku memilih jurusan teknologi pangan dan ahli gizi murni karena suka review makanan, teknik geodesi karena mematuhi saran Bapak dengan prospek kerja yang bagus, dan akuntasi UGM karena punya ambisi yang melonjak untuk bekerja di Bank Indonesia. Jurusan akuntansi jelas tidak sejalan dengan rumpun IPA saat aku SMA. Sedangkan, kimia dan biologi bukan pula mata pelajaran favoritku saat SMA sebagai kunci masuk teknologi pangan atau ahli gizi. Teknik geodesi? Baru juga aku dengar namanya dari Bapakku saat bingung mengisikan jurusan untuk mengikuti ujian masuk UGM. Jurusan apa pula itu sebenarnya? 

Pertengahan 2016 hingga awal 2017, aku berpikir panjang apa yang sebenarnya aku inginkan, apa yang aku suka, dan apa yang aku bisa. Aku tidak lagi memaksakan diri untuk mencari jurusan prestisius. Maka, di tahun 2017 aku memutuskan mengikuti SBMPTN lagi. Aku menginginkan lingkungan yang beragam di tengah kondisiku yang tidak diizinkan keluar dari tanah kelahiranku. Maka, aku tetap ingin pindah perguruan tinggi. Menemukan lebih banyak keberagaman Indonesia agar pikiran lebih terbuka. Poin kedua, aku jatuhkan hati pada jurusan Ilmu komunikasi karena aku pikir itu hal yang aku gemari. Ketiga, aku jatuhkan lagi pilihan kedua pada pendidikan bahasa Inggris di universitas yang berbeda karena aku tahu betul itu hal yang aku bisa. Aku bisa membayangkan aku akan ahli dalam Bahasa Inggris beberapa tahun ke depan. Di sini kamu bisa membaca perspektif syukurku bisa berkuliah di jurusan pendidikan. 

Jadi, gimana? Masih galau kalau harus gap year? Tenang aja. We have our own time to shine. Mungkin belum sekarang. Mungkin gap year jadi jalan untukmu mempersiapkan mental tahan banting mengahadapi segala aral melintang ke depan insha Allah :)



Comments