1 Ramadhan 1438 H J
Alhamdulillah, Praises Belong to Allah, that Allah gives me a chance to
meet Ramadhan this year.
In this early morning, I got something that it is something that I really
want to tell yet I don’t how to deliver it well. So, here it is.
Pagi ini diingatkan dan ditohok dengan kata-kata Indonesia ramai praktek ateisme (Mempercayai Tuhan tapi
tidak ajaran agama). Awalnya, aku mengira-ngira apa maksud yang ingin
diutarakan Ustad.
Ternyata begini. . .
Di buku kewarganegaraan yang dikeluarkan oleh Kemristek dan Dikti untuk
para akademisi, sila pertama pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah
Indonesia adalah negara yang mempercayai akan kekuasaan Tuhan yang Esa entah
apa itu agamanya, be it Islam,
Nasrani, Hindu, Budha, dan animisme.
Kedua, pada pidato dicetusnya Hari Pancasila pada 1 Juni 1945 oleh Ir.
Soekarno bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang dimaksud yang di sini adalah
Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Kedua contoh di atas bisa dikatakan Indonesia mulai mengalami pegeseran
makna pada sila pertama kata Ustad. Pergesaran makna yang bagaimana?
Inilah praktek ateisme yang
dimaksud. Indonesia hanya mempercayai adanya TUHAN tapi tak
mempercayai/melaksanakan apa sebenarnya keyakinan dalam beragama itu. Singkatnya,
percaya akan kekuasaan Allah itu ada tapi tak diikuti dengan akidah yang kuat,
tidak mengetahui siapa Nabi yang merisalahkan ajaran Allah, dan bahkan mungkin
tidak mengetahui kitab apa yang digunakan sebagai landasan mempercayai Allah SWT.
Fakta kedua adalah seolah-olah penguasa Negara tak mau ada kata agama ini
sempurna ajarannya. Semua ajaran agama pasti ingin mengakui agamanya yang
paling sempurna.
Maka bagi kami, dalih “Dan Jalan yang
diridhoi di sisi Allah hanyalah Islam.” adalah pedoman yang menjadikan kami
percaya mengapa hanya Islam agama yang paling benar, karena darinya kita
mendapatkan ridho Allah.
At the point, bahwa tanpa disadari sekarang banyak pihak yang
mencoba meruntuhkan akidah kita. Dengan dalih mempertahankan “persatuan” akan
ragamnya budaya di Indonesia, maka sedikit demi sedikit seperti mulai
menghilangkan praktek agama.
Lantas, apakah Tuhan Indonesia itu budaya? Saya rasa tidak (ini adalah poin
tambahan dari saya). Berdalih semua mubah karena toleransi dalam ragam budaya
kekayaan Indonesia.
Dan baru-baru ini beradar broadcast
message akan adanya toleransi kelewat batas. Bukti yang mendasarinya adalah
cetakan Buku Bimbingan dan Konseling untuk SMP-MTs yang menuliskan kalimat
tayyibah seperti Subhanallah diganti Subhana Tuhan, La illaha illalah diganti La
ilaha illa Tuhan, dan alhamdulillah diganti alhamdu lil Tuhan.
Tapi untungnya pihak Penerbit dan Percetakan Paramitra meminta maaf
sebesar-besarnya dalam kesalahan ketik dan mereka menjelaskan kalau buku
tersebut tidak diperjualbelikan secara bebas dan hanya dipakai pegangan guru.
“Bagimu Agamamu dan Bagiku Agamaku.” Bukankah demikian? Begitulah
toleransi, yang Nasrani biar melaksanakan ajarannya, maka kami muslim beri kami
ruang untuk melaksanakan sebenar-benarnya syariat ajaran kami. Right or right? Bukan malah mereduksi
ajaran kami karena dalih persatuan harus ditegakkan atau mencampur baurkan
keduanya agar bisa berharmoni nyatanya tak mungkin kita bilang Subhana Tuhan,
kan? Based on my very independent opinion,
menghargai satu sama lain itu tidak harus menyatukan segala macam bentuk ajaran
ke dalam satu wadah.
Di akhir, Ustad memberi fakta ..............
Berdasarkan keputusan MPR di pasal 29 ayat 1 (yang sejatinya saya lupa
persisnya Ustad bilang bagaimana) sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa jelas
merupakan kandungan landasan Umat Islam, untuk bertauhid dan melaksanakan
ajaran Islam.
Maka, marilah kita sebagai Umat Islam menjalankan syariat-syariat ajaran
kita. Semoga kita berislam karena memiliki akidah yang kuat dan berpedoman yang
jelas bukan sekedar menjalankan model saja. Kita tahu jelas mengapa kita
berjilbab syari’i, menjalankan puasa Ramdhan, dan menjalankan sunah-sunah
Islam.
Mungkin dari postingan ini, ada aja yang bakal nyinyir
Ø
Fanatisme
Ø
Radikalisme
Ø
anti NKRI
Ø
Gak
pancasalis.
Silahkan! Saya tidak marah, saya hanya menyampaikan apa yang saya rasa
benar.
Kalau dibilang anti NKRI dan gak pancasalis ya gak juga. Buktinya apa? Saya masih mencintai apalagi makanannya amboy nian dan menikmati indahnya keragaman di Indonesia bahkan di Islam sendiri saja
ragam pemikiran/ideologi itu menjadi wajar.
Maka, Indonesia yang dihimpun
banyak kepala tak heran kan akan banyaknya pemikiran-pemikiran.... dan Saya
berpihak pada yang ini.
Masih mau taqlid buta?
Comments
Post a Comment