Perlahan tapi
pasti, salah satu obsesiku untuk memimpin suatu acara itu berhasil diwujudkan.
Ialah menjadi Master of Ceremony
dalam sebuah acara besar, at least
bagiku. Walaupun belum cukup banyak pencapaianku di curriculum vitae yang kubuat sendiri dalam ber-MC. Kata Mas Opunc
(penyiar 92.9 FM Solo Radio yang baru saja resign
karena terlalu mencintai kampung halamannya) kita perlu mengapresiasi sekecil
apapun usaha kita di CV. That’s why I’m
making this. Tetap ku ingat, aku masih perlu banyak belajar dari para
senior yang telah lebih dulu terjun di bidang ini.
Awalnya, aku tak tahu mengapa aku membangun
mimpi sebagai public speaker. Yang
aku tahu, baik untuk bisa menyampaikan yang kita rasakan dan pikirkan. Baik
untuk bisa membantu orang lain lewat kata yang kita sampaikan. Selain itu, kita
sangat perlu wadah menumpahkan akan apa yang kita rasa suka dan semangat ketika
mengerjakan hal itu.
Bulan Agustus
tahun ini, aku diamanahi untuk memimpin dua acara. Pertama, Mini Festival
Jurnalistik Pelajar yang diselenggarakan oleh Komunitas Cita Rasa Kebaikan
Pelajar (CAKEP) Indonesia Chapter Solo yang bekerja sama dengan Majalah
Smaracatur SMA N 4 Surakarta pada tanggal 6 kemarin. Acara yang diselenggarakan
di Pusat Pengembangan Bisnis (PUSBANGNIS) UNS ini dihadiri oleh kurang lebih
100 pelajar se-solo Raya. Awalnya, aku tak menyangka bahwa acara festival
jurnalistik pelajar yang pertama kali di Solo ini bakal menarik banyak
antusiasme pelajar Solo. Mungkin karena ada Keroncong Smaracatur dan Mini
Majalah Inspire Jogja sebagai guest star.
Acara ini juga berhasil terwujud atas bantuan dari banyak pihak yaitu Teh Poci,
Takoyaki, Roti Maryam, KongKing Pisang goreng, Solo Lidi, dan Rumah Zakat. Dan
tak lupa Solopos FM yang mau menjadi media
partner. Timbal baliknya, kita dibolehin talkshow dengan tujuan promo acara
kita. Yang ditunjuk buat promo siapa dong? Aku mewakili coach CAKEP termuda
hehe bersama ketua pelaksana, Risya, open
mic di studio 103.0 Solopos FM. Lagi-lagi aku punya cerita menarik akan hal
ini.
Walaupun ibarat
kata, aku hanya sebagai panitia yang bertanggung jawab atas acara sendiri maka
aku dengan senang hati mau menerima tawaran menjadi MC dari para teman-teman.
Bukan seperti MC yang dibayangan beberapa orang : mendapat bayaran, tawaran
kerja sama, atau sejenisnya. Tapi bagiku, ini lebih dari membahagiakan. Aku
sangat percaya, semakin kita beranjak dewasa sekolah tidak hanya satu-satunya cara sebagai media belajar. Lewat pengalaman
yang seperti inilah, aku lebih bisa memaknai apa itu belajar. Aku belajar
untuk lebih bertanggung jawab atas apa saja yang aku katakan, basically sebagai MC berarti yang aku
memerintah pengunjung, lebih peka dan sensitif akan apa yang aku sampaikan,
memikirkan apakah yang kita katakan telah mampu membuat mereka paham, bahagia,
dan membantu mereka dalam mengikuti acara? Karena banyak di luar sana yang
terlalu apatis karena merasa jabatannya paling berfaedah untuk orang banyak.
Aku tak mau lagi menjadi apatis dan egois. Dua hal itu tak membantuku sama
sekali dalam development career.
Sebelum bisa
memandu acara yang menurutku besar itu, aku diberi kesempatan untuk bisa open mic di Solopos FM sebagai media
partner acara ini. Bertemu dengan Ibu Nana sebagai news announcer yang memandu acara “Bincang Komunitas” kala itu. Ada
yang menarik dan mungkin ini norak kali ya, aku baru mengetahui bahwa jendela
informasi yang disajikan di Solopos FM itu dibaca langsung oleh penyiar ketika open mic. Sebelumnya, ku pikir itu
rekaman yang telah diolah lalu diplay setiap dibutuhkan. Ternyata suara news announcer itu benar benar empuk di
dengar, ya. Hebatnya lagi, ketika aku sampai kantor solopos FM (sebenarnya
ini kunjungan keduaku, awal mula aku kesana bersama Radio Dista FM lebih norak
lagi dong. Gimana enggak... kantornya bersih, nyaman, dan tenang bangetttt
ngettt, sis. Gak tahu deh di pel berapa kali sehari bisa sekinclong itu) khususnya studio radio-karena kantor untuk
koran dan radio beda ruang dan space-semua
orang pada berkutat di depan komputer dan mengetik banyak rilis berita untuk di
upload di web solopos.com. Suara ketikannya itu looo... bikin ga tahan.
Kenapa kerja
menjadi penyiar itu menantang? Jawabku adalah kita harus pintar membagi fokus
(attensi pendengar, info dari produser radio, musik yang harus di list, dan
pengendalian mixer agar sinkron suara mic and sound) pun memiliki managemen
waktu yang baik, gak mau dong telat siaran sehingga nabrak program sesudahnya
karena pas siaran kita gak memanfaatkan waktu dengan baik?
Selanjutnya,
adalah malam 17 Agustus kemarin, banyak daerah di Indonesia merayakan malam
Tirakatan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-72. Kami
pun mengisinya di Gang Bima RT 04 RW 15, Cemani, Grogol, Sukoharjo. Aku memasuki
tahun ke-3 menjadi pengurus muda mudi 17an di kampungku. Aku yang dahulu
dikenal pemalu dan tidak pernah bercengkrama dengan tetangga, perlahan harus
merubah sikap anti-society-club karena
pada akhirnya manusia adalah makhluk sosial. Jadi, berkomunitas itu adalah mutlak
sebuah kebutuhan. Aku pun sekarang bisa dibilang bukan pemalu lagi, tapi
malu-maluin. Jokes receh yang hqq, ala-ala bahasa sosmed.
Ada hal yang
kadang bikin aku jengkel, orang yang nyinyir kalo perlombaan dalam rangka road to Independence Day Commemoration
seperti lari kelereng, lari bendera, memasukkan pensil dalam botol, mewarnai
dkk tidak berfaedah bagi kemajuan bangsa. Mereka lupa kali ya ada panitia, which at least mau hidup bermasyarakat
yang jelas heterogen, bersusah payah menyiapkan dan merencanakan finansial agar
agenda itu tetap terselenggara atau mereka lupa jika mental seorang anak untuk
menjadi pemberani nyatanya bisa dibangun melalui ajang lomba seperti ini. Para
adek-adek mau tak mau harus bersosialisasi dengan teman sebaya, kakak-kakak,
dan ibu-bapak yang berada di tempat acara. Perlu diingat ya, jika kita tak mau
ikut hidup di lingkungan yang heterogen nampaknya toleransi itu hanya menjadi
gauman belaka. Sedikit cerita, dulu aku sangat takut untuk bersosialisasi
dengan tetangga teman sebaya sehingga aku tak mau mengikuti berbagai macam
lomba yang sudah dirancang kakak panitia. Aku pertama kali merasakan lomba 17an
malah di SMAku, mengambil koin waktu itu. Perlu diingat, ada loh yang mentalnya
gak beranian kaya aku(dulu sih wkwk, sekarang juga kadang masih grogian
kok). Hal lain, hadiah yang diberikan juga merupakan bentuk penyaluran semangat
kepada para adek-adek untuk bisa terus berprestasi.
Jadi, gak salah
dong tetep ada perlombaan seperti itu? Kalau kalian belum pada bergerak
mencetak inovasi untuk Indonesia, gak usah deh nyinyir nyinyir unfaedah. Clear kan ya? Kita-kita nih juga masih pada on track memenuhi visi dan misi Indonesia, kok.
Tapi nampaknya
memang perlu ada beberapa hal yang harus dibenahi. Seorang event organizer harus mengakui itu, bukan? Lomba tersohor
se-Indonesia Raya, makan kerupuk, nampaknya perlu mengingat adab makan seorang
muslim. “Makan dan minumlah kalian
sambil duduk dan menggunakan tangan yang baik(kanan).” Kira-kira begitulah
bunyinya. Mungkin ke depan bisa diganti lomba makan cokelat sambil disediakan
tempat duduk kali, ya? Setuju atau setuju? Hihi.
Semakin Jaya dan Berbudi Karakter, Indonesiaku! |
Pada akhirnya,
tolong dimaafkan jika curhatnya kepanjangan. Tapi, semoga kalian bisa mengambil
value ya dari post-postan ini. Dan, I thank
to all of friends that gave me chance to perform :D
Terimakasi, Maha
Baik Allah, Ya Rahman, Ya Rahiim. Beri lagi aku kesempatan lain yang lebih
besar menurutMu, ya? –fny-
Sip. Lanjutkan!!
ReplyDeleteMakasi sudah mampir mahmud :) bagaimana kabar blogmu?
Delete