Becak Legendaris Kota Solo

Nyatanya, membaca buku itu memang menggerakkan akal dan raga. Dan aku semakin mencintai ilmuNya yang Maha Luas. 

17 Ramadhan pagi hari, aku menyelesaikan buku Creative Muslim - Fachmy Casofa yang aku temui secara tak sengaja di Pameran Buku dan Fashion Masjid Nurul Huda UNS. Aku pun membelinya secara sengaja untuk punya bahan bacaan di tengah hiruk-pikuk bulan puasa. Aku membelinya karena awalnya aku tertarik dengan covernya, dilanjut dengan skimming isinya, dan lebih sumringah lagi ketika mengetahui diskon yang ditawarkan pada buku tersebut 50%. Sangat murah untuk ramuan buku yang tidak murahan sama sekali. 

Aku tak tahu ini terjadi pada dirimu atau tidak tetapi setiap membaca buku pasti ada 1-3 atau lebih halaman yang ter-highlight oleh diriku. Aku terus mengingatnya di antara banyak pesan yang ingin disampaikan penulis. Aku merasa itu sangat relateable dengan pikiranku sendiri. Lewat buku ini tertanam alam bawah sadar untuk menjadi hyperconnector.  Apa itu hyperconnector? Cek foto di bawah ini ya. 
www.instagram.com/yus.tia13
Aku pikir berbekal visi itu akan lebih menguatkan visiku yang lain yaitu do good dan postive vibes only.

Dan aku menghirup udara hari itu dengan rasa ingin berbuat sesuatu yang kreatif dan outstanding. Muslim kreatif kata di buku tersebut adalah yang mampu menjadikan hari-harinnya penuh dengan kejutan yang bermakna. Semisal menelpon teman lama yang sudah lama tidak ditemui, itu adalah kejutan yang menyenangkan. (Hal lain yang ter-highlight olehku)

Dan aku terjunkan diriku untuk menumui kejutan itu. Ialah Pak Timbul, nama sapaan dari nama asli Hadi Sugiarto. Sore itu kali ke-tiga aku terpana dengan becak yang ramai pernak-pernik yang sedang berlabuh di depan Donatello & Blossom Tipes. Sebelumnya, aku pernah melihat dirinya bersama seorang "anak" ketika menunggu lampu berubah warna hijau di lampu lalin GOR Sriwedari. Ingin membunuh rasa penasaran yang selama ini lewat di pikiran, aku berniat menemuinya untuk sekadar menyapa.

Ku sodorkan sesuatu yang telah kusiapkan. Niatku sebenarnya ingin langsung mengutarakan pamit karena seharian sedari pagi sudah beraktifitas dan ingin istirahat barang sebentar saja di rumah sebelum berbuka puasa. Akan tetapi, Pak Timbul tanpa ditanya sudah bercerita banyak dan cepat sekali dalam Bahasa Jawa yang beberapa ku tak mengerti maknanya.

Nampaknya, Allah memang ingin menjawab semua rasa penasaranku yang ada di kepala saat itu juga.

Ia awali cerita dengan menyebutkan alamat rumahnya. Terjawab sudah bahwa ia bukanlah seorang tuna wisma. Ku pikir dia di jalanan dengan becaknya karena tak punya rumah. Lebih mengejutkan lagi, dia adalah tetanggaku sendiri. Rumahnya tak jauh dari rumahku jika ku telisik dari arahan dan alamat yang ia sebutkan. Lalu, ia ceritakan lokasi nongkrongnya. Dan benar bahwa Pak Timbul banyak menghabiskan waktunya di lampu lalin GOR Sriwedari sembari menjaga jalan. Selain di sana, beliau juga bercerita ia sering "nongkrong" di sekitar SD Ta'mirul Islam yang dimana adalah almamaterku. Part selanjutnya adalah hal yang paling menyentuh diriku. Kesabaran menerima kekurangan orang terkasihnya, "anak" perempuan yang mengingau tak jelas apa. Dia tak pandai berekspresi lewat aksara tapi hadirnya berhasil memberi pelajaran syukur pada banyak orang. Aku beranggapan umurnya masih belasan tahun atau usia remaja karena tubuhnya yang kecil. Sungguh di luar dugaanku, Pak Timbul menuturkan bahwa anaknya berumur 40 tahun dan dialah satu-satunya sosok yang merawatnya, mengantarkannya ke RS Mojosongo, dan menggantikan popok entah karena menstruasi atau hajat yang lain. Istrinya telah berpulang ke pangkuan Tuhan dan tiga anaknya yang lain yang entah dimana. Aku tak bertanya dan hanya mendengar penuturannya bahwa ia memiliki tiga anak selain Fatmawati yang duduk di becaknya. Oh ya, Ia juga bercerita bahwa becaknya adalah pemberian seorang pemain sepak bola yang bermain di klub Arseto Solo. Ia bertanya padaku "Tahu kan Arseto Solo?" Aku berpikir sejenak, dan tak menemukan memori apapun mengenai Arseto Solo di kepalaku. Lain hal, nama sapaan Pak Timbul ia dapatkan karena anggapan warga bahwa dirinya mirip pelawak TV bernama Timbul. Siapa pula dia, ku tak mengerti. (dan aku baru saja meng-google-nya haha)




Aku menanya apa pekerjaannya, ia jawab ia ialah seorang pensiunan tukang becak sekarang dirinya menjadi penjaga jalan seperti hal di atas yang sudah kuutarakan. Mungkin kau masih bertanya, bagaimana dia mendapatkan uang untuk menyambung hidup? Terpujilah media dan orang-orang yang tergerak hatinya. Melalui pemberitaan media (Pak Timbul bertutur dirinya pernah diliput oleh Trans TV dan Solopos), orang-orang mengenal dirinya. Pun orang-orang baik banyak yang menemuinya untuk memberi bantuan baik mental maupun material. 

If you happen to meet him, please kindly help :) It means a lot, really. 

Adalah pesan moral yang harus terus ditanam dalam dalam kepada diriku sendiri yang masih suka mengomel karena kelakuan orang terdekat dan tersayang (red : Mama, Bapak) yang semakin menua dan melemah, yang semakin menunjukkan tingkah yang berbeda, dan yang semakin mengalami disfungsi. Bahwa cinta itu memang tak terbalas terkadang, tetapi itulah tulusnya cinta. Selamat merawat cinta itu, Fat. Surgamu ada di sana Insya Allah :) 

Nb : Maaf jika ada info yang kurang akurat, karena tak dicatat maupun di-record ketika mendengar penuturan Pak Timbul. 

Comments