Restarting

Sedari kecil, aku sudah dibiasakan untuk berkutik dengan hal menumpahkan rasa dalam media tulis. 

Mama-lah yang mengenalkanku akan memo book pertama kalinya. Kurang lebih begini katanya "mama akan menuliskan apa saja yang mama belanjakan, untuk dikenang, untuk mengerem ketika mama kebablasan membelanjakan uang, juga bentuk apresiasi bahwa mama mampu membelikan diri mama atau kalian(anaknya) sesuatu." Kegiatan memantau siklus ekonomi ini bisa disamakan dengan proses journaling atau menulis diary. Aku pernah menuliskan esai mengenai manfaat journaling di sini, boleh kalau ingin menengoknya.

Di masa sekolah dasar, mama selalu menyarankan buku diary sebagai sesuatu untuk dibawa pulang ketika mengunjungi toko alat tulis. Awalnya, aku bingung harus menuliskan apa. Kata mama, tuliskanlah apa saja yang kamu alami hari ini entah menyenangkan atau menyedihkan. Payah! Dahulu, aku banyak menuliskan kisah cinta monyet yang picisan dan murahan. Aku menuliskan rasa kesal akan teman-teman yang telah menggoreskan luka seperti mungkin tidak diajak bicara, bermain bersama, diolok-olok. Tidak separah yang kalian kira, kok. Hanya kenakalan anak kecil biasa yang mencoba memahami dunia orang dewasa. 

Menuju pendidikan menengah, aku menjadikan media tulis sebagai alat untuk menuliskan segala asa, mimpi, dan ambisi. Ah, aku jadi merindukan masa dimana aku bisa bebas berani bermimpi tanpa memikirkan harus melakukan apa, harus merealisasikan dengan cara apa. Bahkan dulu aku aktif menulis cerpen, sekarang aku malas sekali untuk memulainya kembali. Di masa ini juga, aku mulai mengenal berbagai macam media sosial melalui koneksi internet yang malah menjadikan rutinitas "bercerita" kovensionalku turun drastis. Aku menuliskan apa yang aku rasa lewat status, dan tak banyak, dan mungkin bukan rasa yang benar-benar ada. Aku memikirkan harus menulis apa agar orang lain memberikan likes dan komentar. Payah! 

Semakin dewasa, kebutuhan "ekspresi diri" semakin aku rasakan. Tapi, kadang aku bingung memilih media yang tepat. Media yang bisa benar-benar merasakan kejujuran tanpa ada rasa intimidasi harus menjadi "boneka imut" bagi semua orang yang membaca. Maka, Ramadhan kemarin aku memberanikan diri untuk membeli sebuah buku journal/diary. Aku berniat untuk mengurangi kegiatan "menumpahkan rasa" lewat media sosial, berhenti mengeluh di akun Twitter contohnya. Lewat buku itu, aku tuliskan segala rasa kesal, sedih, dan bingung. Perasaan yang dianggap "tidak manusiawi" di era serba pencitraan layaknya hari ini. Keluhan-keluhan itu aku simpan, tidak sendirian, kadang aku membaginya juga. Tapi, buku itu berhasil menjadi singgahan pertama untuk menumpahkan segala amarah. 

Belakangan, banyak inspirasi juga yang datang di depan mata adalah mereka perempuan-perempuan,yang berhasil menjadikan tulisan mengenai hari-hari mereka menjadi daya magis bagi dunia. Seperti katakanlah Aida Azlin, Farah Qoonita, dsb. Menuliskan sebuah "reflection diary" yang dibagikan untuk khalayak ramai dan orang-orang berbondong-bondong ikut mengulik pelajaran darinya. Di kelas academic listening yang aku ikuti semester ini, dosen kami juga mengenalkan reflection diary dimana para mahasiswanya diminta menuliskan apa yang sudah dipelajari hari ini dan kesusahan apa yang ditemui ketika belajar hari ini. Menuliskannya selalu memberi kesempatan untuk aku me-recall kembali segala yang terjadi di kelas. Muhasabah, begitu kata agama. 

Lambat laun aku belajar, selama ini mama bukan hanya mengajarkan budaya literasi tulis-menulis di buku diary. Mama ternyata mengajarkanku urusan untuk mau mengambil hikmah yang Allah mungkin berikan pada setiap hari yang aku lalui. 
Mengambil hikmah itu tidaklah mudah. Kadang, aku bertanya kepada Allah, apa yang harus aku tuliskan, hariku berjalan dengan lancar, mulus, tanpa hambatan. Di situlah, rasa aman adalah kebodohan. Ia membiarkan hati dan pikiranmu berhenti menelisik hikmah. 

Setelah ini, semoga aku bisa istiqomah menuliskan hikmah-hikmah yang aku temui dan rasakan lewat blog ini -- yang telah usang dan tak ku rawat ini -- Semoga bukan karena alasan popularitas dan ikut-ikut trend, tapi karena aku ingin terus didekatkan kepada hikmah dan hidayah dariNya. Bismillah.......

Comments