“Banyak orang bilang bahwa hidup dimulai di umur 40 dimana di umur tersebut kehidupan mulai terlihat rapi, nyaman, enak, dan tentram. Tidak dengan penulis. Ia beranggapan bahwa hidup dimulai pada umur 20 dimana kehidupan mulai ditempa oleh berbagai masalah yang mendewasakan diri.”
Aku membaca paragraf itu di
sebuah sinopsis buku yang ditulis oleh kakak tingkat sekaligus ketua departemen
dalam organisasiku yang berjudul “Life begins at 20”, dalam hati aku berpikir “Ah,
masak iya?” Saat itu umurku baru saja masuk kepala dua.
Sekarang umurku sudah 20 tahun 5
bulan. Jujur saja sampai sekarang aku belum membaca buku “Life begins at 20”
yang mengarah pada motivasi berbisnis sedari muda seperti penulisnya karena aku
lebih tertartik membaca buku leadership behaviour ketimbang entrepreneurship
people. Padahal, kedua hal tersebut sama-sama membutuhkan nilai yang sama yaitu
bagaimana cara mempengaruhi orang.
Tulisan kali ini memang bukan tulisan review
buku tersebut akan tetapi tulisan ini adalah rasa persetujuan kalimat di
paragraf paling atas.
Ya, umur 20 adalah umur yang
istimewa--setidaknya bagi aku. 20 adalah masa dimana aku merasa harus mulai
mendewasakan diri dan meninggalkan masa-masa remajaku. Masa transisi dari
remaja ke dewasa yang sama aku sadari perbedannya dengan masa transisi dari
kanak-kanak ke remaja. Jika transisi masa kanak-kanak ke remaja, aku rewel
masalah fisik, fashion, dan bahkan cinta. Aku berusaha mati-matian
menghilangkan jerawat puber dengan masker, pergi ke dokter, dan sebagainya. Aku
juga pernah berdandan dan mencocokkan antara jilbab dan baju selama 1 jam agar
dipuji teman. Aku bahkan sempat menangis
hanya karena cinta monyet. How cheesy it
was!
Meanwhile, masa transisi remaja ke dewasa lebih kepada memperkaya
prinsip hidup dan menerima diri sendiri dengan segala kondisinya. Aku mulai menyadari
betul mana yang menjadi prinsip-prinsip
hidupku. Di lain hal, aku mulai menyadari bahwa kita hidup berdampingan. Maka,
aku mulai mencari cara bagaimana prinsip-prinsipku itu tetap berjalan meski
dalam keberagaman di tengah-tengah masyarakat. Ya, aku memperkaya prinsip.
Prinsip yang coba aku perkaya adalah tentang “hidup bukan milik aku saja, hidup
ini adalah hak semua orang. Maka, menghargai satu sama lain sudah menjadi
sebuah keniscayaan”.
Juga, karena kesadaran hidup ini
adalah hak semua orang maka aku mulai menempatkan diriku untuk berbaur dengan
masyarakat. Aku sebisa mungkin tidak hanya menjadi seenggok sampah masyarakat
yang menimbulkan masalah. Tapi, aku juga berharap bahwa diri ini dengan segala
potensinya mampu bermanfaat bagi sesama dan lingkungan sekitar. Rasakanlah sendiri! Di umurmu yang beranjak
dewasa kamu akan mulai bertanya pada diri sendiri “Hal apa yang bisa aku beri
ke dunia?” Meski itu hal kecil, kamu akan mulai berusaha memperbaiki dunia
dengan hadirmu. Aku rasa ini dorongan alamiah. Ini juga tentang mengalah demi
kepentingan banyak orang dan menghilangkan ego. Kenapa orang dewasa terlihat
bijaksana? Ya karena ini, mereka sadar bahwa tidak semua keinginan pribadinya
harus dipenuhi.
Tentang penerimaan diri atau self-acceptance; Aku bersyukur bahwa aku
bisa menemukannya sedari dini. Ya, walaupun kadang aku masih merasa insecure mengenai berat badan. Perlahan,
aku mulai menerima bahwa aku memang dilahirkan dengan hormon yang instabil dan
kondisi kulit yang berminyak sehingga kulitku cenderung acne-prone. Aku bahkan pede saja melenggok di hadapan publik tanpa make-up, benar-benar hanya pelembab dan
bedak sesekali lipstick. Bukan karena
aku tidak mau berias, aku enggan belajar saja dan aku pun tidak atau
belum punya anggaran khusus untuk produk-produk make-up. Entah kenapa aku lebih suka mengeluarkan uang untuk
membeli makanan atau buku. Di toko buku, aku merasa aman, nyaman, dan tentram.
Lain halnya di toko kosmetik, aku merasa kaku, terburu-buru, dan deg-degan
setengah mati (takut uangnya kurang kali ya haha)
Poinnya bukan masalah make-up or book nerd. Kesimpulan bahwa di
umur 20, aku mulai menemukan pilihan-pilihan hidup yang tentu berbeda dengan
orang lain. Konsekuensinya ada dua : berkolaborasi dengan yang lain untuk semakin
memperkaya cara pandang dan terus berdiskusi dengan yang sepaham untuk
menemukan supporting system dan
memperkuat jati diri.
Oya, umur 20 juga mengajariku
bahwa jati diri-lah yang membuat diri kita bertahan dalam masalah. Bertahan
dalam masalah yang aku maksud adalah mau menghadapi masalah secara bijak,
menyelesaikan dengan akal sehat, dan tidak mencoba menghindarinya.
Fatiha, selamat terus bertumbuh
dan berkembang entah cepat atau lambat.
Comments
Post a Comment