Kalau Fathia Izzati punya ”21 Accent” sebagai one hit-nya, lain denganku, Fatiha –sebelas dua belaslah antara
Fathia dan Fatiha kan?- yang punya satu postingan Instagram yang ujung-ujungnya
dikepoin orang di DM atau PC WhatsApp. Sebuah postingan yang menampilkan surat terbuka ke Kemenpora
RI karena sudah mensponsori partisipasi kegiatan Model United Nations (MUN) Conference di Malaysia.
Para instagrammers lain rupanya juga ingin mengisi feed dengan
postingan keren di luar negeri, jalan-jalan, ketemu bule, pakai jas necis
ngomong Bahasa Inggris. Auto mendapat citra orang terkeren dan tersukses di
jagad raya Instagram. Gak mengherankan kalau bisnis event organizer MUN jadi laris manis di kalangan terpelajar yang
mampang di Instagram. Betul atau tidak?
Gimana sih bisa “jalan-jalan” disponsori Kemenpora RI? Aku percaya banyak
yang butuh dicerahkan lewat tulisan ini. Kuy
lah, aku terangkan dengan temaram lampu ilmu.
FYI, MUN adalah sebuah forum berlatih menjadi
diplomat ala-ala Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB). Di sini, kamu dilatih untuk berbicara dengan orang
banyak, menumpahkan pikiran, pendapat, terkadang hujatan, kemapuan modus
eh maksudnya bernegosiasi dengan orang lain, dan bermain peran dengan
mempresentasikan diri mewakili sebuah negara tertentu. MUN bisa diikuti oleh
pelajar SMA, para mahasiswa semua jurusan, dan pemuda pada umumnya.
Bad news-nya adalah acara sebeken ini selalu modal
sendiri. Programnya didesain self-funded.
Kalaupun ada fully-funded,
paling-paling panitia memberi kesempatan untuk 1-3 orang terpilih dari puluhan
ribu pendaftar dari berbagai belahan dunia.
Menurutku, MUN zaman now (apalagi
yang kenceng promonya di Instagram) merupakan edupreneur yang kelewat sukses.
Sukses betulan bisnis ini. Sambil menyelam minum air. Sambil memberikan
platfrom pembelajaran di hotel bintang lima sekaligus membayar untuk jalan-jalan-pamer
di luar negeri. Dari segi bisnis, ini jelas keuntungan besar. Panitia bilang biaya
ini adalah sebuah investasi perkembangan pribadi which is itu sangat benar adanya.
Setelah dipikir-dipikir, pengalaman MUN pertama kemarin menantangku untuk go extra miles. Yak, aku hanya bermodal
motivasi ingin mengembangkan kemampuan English Public
Speaking dan menantang diri sendiri untuk meninggalkan comfort zone. Butuh validasi ke diri sendiri bener mampu atau gak
menaklukan ambisi.
Mari kita bongkar cerita tentang sumber dana keberangkatan. Pertama: TABUNGAN!
Alhamdulillah, orang tuaku menanamkan kebiasaan menyisihkan uang saku. Tabungan
ini juga terkumpul berkat jerih payah, cucuran keringat, dan muncratan air
liur (karena kerjaanya berbicara menjelaskan suatu konsep di depan para murid)
iya freelance teacher! Bahasa emaknya
adalah guru les privat. Mengajar dari satu rumah ke rumah yang lain.
Sumber lainnya berasal dari ikut-ikut lomba sesuai passion macam English speech
yang berhadiah fresh money, gak cuman
piala buat dipajang, atau sertifikat yang akhirnya berdebu dan jamuran.
Masih banyak kekurangan dana untuk berangkat ke Negeri Sebrang. Lanjut step
kedua: KAMPUS! Aku putuskan untuk konsultasi ke Pembimbing Akademik (PA). Maklum maba belum banyak ngerti dan masih polos saat itu wkwkwk. Beliau menyarankan untuk menemui International
Office (IO) karena sependek paham beliau IO memiliki sebuah program
beasiswa bagi mahasiswa yang berangkat ke luar negeri karena suatu program
internasional. Sesampainya di kantor, seorang petugas berkata “belum buka
periodenya, mbak. Besok ya bulan Mei coba
daftar.”Aduh! Butuhnya buat bulan April.
Dzuhur tiba. Aku bergegas ke masjid kampus. Setelah merasakan dinginnya
ubin masjid, ada pesan WhatsApp dari PA-ku yang intinya mengabarkan untuk
mencoba pengajuan dana ke pihak fakultas. Semangatku kembali membara! Dibayarin
kampus dan membawa nama baik kampus? Pasti keren banget! Di gedung F warna
ungu, aku bingung! Setiap nanya ini itu pasti muncul jawaban prosedural untuk
menemui ini itu atau mengunduh berkas di sana sini. Ah, udah gak keburu bapak-ibu
penjabat kampus sekalian! Kapan birokrasi kampus sesimple upload google form
pendaftaran seminar, ya?
Aku memutuskan curhat ke spesies ambis lainnya di kampus (baca: anak karya
ilmiah). Pasti ada jalan pintas nih! Beneran
dong! Ia menyarankan untuk membuat proposal kegiatan lalu diajukan ke biro
kemahasiswaan kampus. Aku dapat contoh proposal kegiatan yang berhasil lolos
darinya. Raut mukaku makin semrawut! Membuat
dokumen di Indonesia emang selalu ribet. Eits,
tapi apa salahnya mencoba?
Aku susunlah proposal kegiatan yang intinya menyatakan latar belakang atau
motivasiku mengikuti kegitan tersebut, tujuan, manfaat program, dan estimasi
dana yang aku butuhkan selama 4 hari 3 malam di Malaysia. Udah jadi tuh
proposal! Terjadi lagi. Jawaban prosedural dilempar-lempar sembarangan macam
paket siap diangkut truk ekspedisi. Di titik itu, aku memberi label bahwa
kampus ini gagal mendukung mahasiswanya maju atau aku saja yang kurang gethol berusaha?
KEMENTRIAN! Google adalah teman ketika kampus yang katanya sumber keilmuwan
dan relasi sebagai sumber rezeki tak mampu diharapkan. Mesin pencarian itu bilang
bahwa para mahasiswa berkecukupan bisa mengajukan proposal pendanaan ke
organisasi pemerintahan.
Aku langsung memilah mana saja kementrian yang kiranya sevisi dan misi dengan
kegiatanku. Terpilihlah Kemenpora, Bappenas, dan Kemendikbud. Proposal kegiatan
yang awalnya aku ajukan ke biro kemahasiswaan kampus, akhirnya aku kirimkan via
pos ke alamat yang bermodal mencontek Gmaps. Asli gak pakai kenalan orang
dalam!
Malang! Mendekati hari H keberangkatan belum juga uang terkumpul. Dana dari
Kemenpora RI itu turun setelah lima bulan dari kegiatan berlangsung. Suatu
hari, ada nomor tak dikenal (katanya dari Kemenpora RI) meminta nomor
rekeningku. Ia bermaksud mau mengirimkan uang sebesar 4/6 dari estimasi dana
yang aku ajukan dengan syarat sudah menyusun Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) yang
dikirimkan via pos dan menulis surat terbuka ditunjukkan ke Bapak Menteri Imam Nahrawi
sebagai ucapan terima kasih. Kamu bisa klik di sini untuk lihat contoh proposal dan berkas yang lain untuk mencari sponsor kegiatan pribadi.
Itulah asal muasal postingan yang disebut di atas! Jadi sebenarnya, semua
ini murni hoki doang entah karena do’a orang tua, do’a sahabat, do’a teman,
atau do’aku sendiri.
DONASI: Mentorku menyarakan untuk menghimpun donasi dari orang-orang keren
semacam politisi, anggota DPR, para alumni sukses dengan almamater yang sama,
atau para pembisnis. Donasi begini harus rajin tanpa absen menjemput bola. Berakhir
hanya dengan mengantongi selembar uang warna merah bergambar Bung Karno-Bung
Hatta. Alhamdulillah.
BEASISWA MAMA-PAPA: Bendera putih! Jebol juga dana mengucur dari orangtua
dengan perjanjian mutualisme “ntar Fatiha balikkin kok kalau sponsornya ada
yang lolos. Janji deh.” Sudah serupa degan Bank Penkreditan Rakyat betul? Namanya
juga orangtua penuh dengan rasa iba dan cinta mengetahui informasi keberhasilan
sponsorship, mereka menghiburku “udah uangnya buat urusan kampus yang lain aja.”
Bahagianya~
CARA LAIN YANG BISA DICOBA KALI AJA BERHASIL: creative fundraising atau bisnis kecil-kecilan semacam jual baju preloved, nyanyi di cafe, jualan sarapan
buat anak kos, efek lightroom, pulsa, paketan netflix, atau apapun itulah yang
bisa menghasilkan uang secara halal dan baik.
Ada juga seorang teman yang bisa ikut MUN karena jasa endorsement. Ia manfaatkan ribuan pengikut Instagram-nya sebagai
target market promosi dagangan dari lapak online yang mendanainya dengan
imbalan foto-foto dirinya bersama suatu barang berlatar belakang luar negeri.
Kamu untung, lapak online juga bisa ngirit biaya promo.
Apapun caranya, selalu sesuaikan dengan kemampuan dan potensi yang kamu
miliki. Bukankah Tuhan sedang bercanda dengan kita? Dia hanya ingin melihat
seberapa besar, benar, dan kuat usaha hambaNya. Jikapun Tuhan sudah terkesima,
Dia akan memberikan apapun yang kalian butuhkan menurut-Nya.
Comments
Post a Comment